Kembali kepada Sang
Khaliq
Mengenang Almarhum H.
Achmad Muchidin
Jumat tanggal 23 Agustus 2013 atau 16 Syawal 1434 H, sekitar
pukul 03:00 WIB, ayahanda kami dalam usia 71 tahun, menghembuskan nafas
terakhirnya di RS Pelabuhan Cirebon, setelah seminggu menjalani perawatan
termasuk 5 hari di ruang ICU. Ayahanda lahir di Purwokerto 17 Agustus 1942,
merupakan anak ke 3 dari 8 bersaudara keluarga H. Achmad Juhdi. Beliau
menderita hipoglikemia, atau
penurunan kadar gula darah sehingga mengalami pingsan dan berakibat pada
terganggunya jaringan syaraf di otak.
Ayahanda kami, H. Achmad Muchidin bin H. Achmad Juhdi bin
Hasan Ilyas bin Hasan Rais bin Suramenggala, lahir ketika masa-masa penjajahan
Jepang, dimana kondisi waktu itu memang serba sulit, karena beberapa kali
terpaksa mengungsi. Ayah dari Achmad Muchidin, yaitu H. Achmad Juhdi, merupakan
salah satu ulama atau tokoh Islam di Purwokerto, khususnya di Kelurahan
Bantarsoka, tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Purwokerto. Acara pengajian
rutin senantiasa dilakukan di mushalanya yang sekarang sudah menjadi masjid.
H. Achmad Muchidin sewaktu kecil, sering dititipkan ke
keluarga lain, dengan alasan masalah kesulitan ekonomi. Sewaktu sekolah dasar,
H. Achmad Muchidin kecil, ikut ke keluarga Mbah Sudirman di Kebumen, dan
setelah itu ikut keluarga Mbah Topo di Jakarta. Setelah kembali ke Purwokerto,
H. Achmad Muchidin, menyelesaikan pendidikan SMP dan PGA (Pendidikan Guru Agama
selevel SMA). Setelah itu kembali ke Jakarta tinggal di rumah paman, Keluarga
H. Khalil, tepatnya di seberang Stasiun Pos Duri, Jembatan Besi, Jakarta Barat.
Beberapa pekerjaan pernah dilakukan mulai dari jualan permen dan rokok di
Stasiun Kota (Beos), petugas langsir untuk KA, dan beberapa pekerjaan serabutan
lainnya. Suatu ketika, almarhum diterima sebagai petugas cleaning service di sebuah instansi milik pemerintah, tidak jauh dari Stasiun
Kota. Dengan bekal keahlian mengetiknya, akhirnya almarhum bisa menjadi pegawai
tetap instansi tersebut, dengan posisi sebagai staf administrasi. Pernah suatu
ketika, almarhum mengatakan, bahwa seumur hidupnya mengalami minum teh manis
itu setelah bekerja di Jakarta, karena selama masa kecilnya hanya minum air
putih, karena sulitnya hidup pada masa itu.
Menikah dengan Hj. Sugiarti (kelahiran Sumpiuh, Banyumas), pada tahun 1968, almarhum dikaruniai 5 orang anak. Awal-awal menikah, sampai kelahiran anak pertama, masih harus bolak-balik Jakarta-Purwokerto, karena memang belum mapan untuk tinggal di Jakarta. Hingga akhirnya keluarga dibawa ke Jakarta dan mengontrak sebuah rumah kecil tidak jauh dari Stasiun Pos Duri. Disitulah anak kedua dan ketiga lahir, melengkapi kebahagiaan almarhum yang pekerjaannya sudah mulai mapan. Akhirnya, almarhum memutuskan pindah ke Cirebon, tahun 1976 ketika ada tawaran mutasi ke kantor cabang yang baru dibuka di kota udang itu.
Masa awal di Cirebon
Awal-awal di Cirebon, almarhum mengontrak rumah di dalam gang
di daerah Klayan. Seiring waktu akhirnya bisa membeli tanah di depan rumah
kontrakan dan dibangunlah sebuah rumah sederhana. Waktu itu memang listrik
masih awal-awal masuk ke daerah tersebut. Kadang untuk nonton acara TVRI, harus
pergi ke kompleks Pertamina Klayan, yang jaraknya sekitar 1 km. Sekitar tahun
1988, keluarga almarhum pindah ke sebuah perumahan di Pilang, dengan alasan
kenyamanan, maklum karena rumah lama yang di dalam gang, sudah dikelilingi oleh
tembok-tembok besar, sehingga kurang nyaman dalam ventilasi dan lainnya.
Di rumah Klayan inilah, almarhum setelah bada maghrib,
mengajarkan kami, anak-anaknya mengaji, di mushala kecil di atas loteng. Karena
rutinitas kantornya yang semakin sibuk dan sering pulang larut malam (almarhum
memang termasuk pekerja keras), akhirnya almarhum mendatangkan guru ngaji (ust
Rapisa) untuk mengajarkan kami mengaji dan ilmu agama lainnya di malam harinya.
Sementara sore hari, kami mengikuti madrasah sore di masjid dekat rumah.
Hijrah ke Pilang
Di rumah baru di Pilang, almarhum mulai aktif di kegiatan
masjid perumahan, yang memang suasana perumahan masih sepi belum seramai saat
ini. Aktifitas di Masjid Al Muhajirin ini mulai meningkat, ketika almarhum
memasuki usia pensiun dan setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 2000.
Selama kurang lebih 10 tahun, sampai dengan akhir hidupnya, almarhum mendapat
amanah sebagai bendahara DKM. Amanat ini dikelola dengan baik, melalui
pembukuan yang profesional karena memang bidang inilah yang digeluti almarhum
semasa kerjanya. Satu hal yang patut dicontoh kita sebagai seorang muslim,
almarhum selalu konsisten datang ke masjid untuk shalat wajib, sebelum adzan
berkumandang, bahkan beliau sendiri yang adzan dan kadang menjadi imam. Waktu
pagi sekitar jam 4 pagi, sebelum subuh, beliau sudah berada di masjid sambil
membangunkan para warga melalui speaker
masjid. Apalagi di waktu shaum ramadhan, aktifitas tersebut selalu dilakukan
almarhum.
Pengalaman lain
Semasa kecil, saya dan adik selalu diajak shalat Jumat di
masjid At Taqwa, masjid terbesar di kota Cirebon. Yang seperti biasa, setelah
itu kami minum es kelapa muda, yang terletak tidak jauh dari masjid, dekat
dengan pintu rel KA. Begitu pula jika hari libur, Ayahanda mengajak saya dan
adik, pergi naik motor vespa ke kebun dan daerah pertanian di sekitar
Arjawinangun, dan pulangnya box motor vespa kami penuh dengan jambu merah.
Kadang di hari libur kami ikut ke kantor, karena Ayahanda lembur. Sementara
beliau bekerja, kami main perang-perangan pake penggaris kayu kantor, atau main
drum, kadang memainkan mesin ketik, atau tiduran di sofa.
Sewaktu saya terkena paru-paru basah, sepulangnya dari survei
di Teluk Bintuni, Papua, sambil menunggu tindakan dokter untuk menyedot cairan
di paru-paru kiri, Ayahanda mengajak saya ke tabib gurah di suatu pondok
pesantren di daerah Arjawinangun, dan beberapa hari kemudian dokter yang akan
menyedot cairan di paru-paru saya terkaget-kaget, dan mendiagnosis bahwa cairan
di paru-paru saya sudah banyak berkurang, dan untuk itu hanya perlu minum obat
antibiotik saja.
Pengalaman berharga lainnya, sekitar 2 tahun yang lalu,
Ayahanda datang sendirian menjenguk ke
Cibinong ketika saya sakit keras, padahal belum lama Ayahanda dirawat di RS Pertamina
karena kadar gulanya naik.
Dini hari malam itu, Jum’at, 23 Agustus 2013 atau 16 Syawal 1434 H, pukul 03:00 WIB, Ayahanda kembali menghadap Sang Khaliq, dan beberapa saat sebelumnya dengan isyarat minta diperdengarkan rekaman murotal Quran dan tausiyah KH Zainuddin MZ, melalui HP yang dibimbing adik saya. Setelah itu nafas Ayahanda mulai melemah, dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
Pukul 11:15 WIB, jenazah Ayahanda, setelah sebelumnya
dimandikan dan dikafani, dibawa ke Masjid Al Muhajirin, untuk disemayamkan
sekaligus akan dishalatkan, setelah ibadah shalat Jum’at. Bada shalat Jum’at, pukul
12:25 WIB, dengan dihadiri oleh beberapa tokoh ulama dan puluhan jamaah yang
memenuhi masjid, Ketua DKM, H. Bambang, membuka prosesi ini, kemudian sambutan
pihak keluarga yang dibawakan oleh saya sendiri, selaku anak laki-laki tertua.
Akhirnya Almarhum dishalatkan dengan diimami oleh adik saya. Acara diakhiri
pembacaann doa oleh H. Ishomuddin Al Badawi, dengan suasana yang menjadi sangat
haru, dan airmatapun tak terasa menetes, tak mampu lagi untuk ditahan.
Jenazah Ayahanda, dimakamkan di pemakaman Tedengjaya, sekitar
1 km, dari perumahan kami. Saya dan adik, menjadi orang terakhir yang
mengantarkan almarhum ke liang kuburnya. Tak terasa berat, bahkan hampir tidak
merasakan beban ketika menurunkan jasad almarhum. Innaalillaahi wainnaa ilaihi rooji’un, sesungguhnya kami adalah
milik Alloh SWT, dan kepada-Nyalah kami kembali.
Allohummaghfirlahu warhamhu wa’aafihii wa’fu’anhu wa akrim nujulahu wawasysyi’ madkholahu waghsilhu bimaa in watsaljin wabarodin wanaqqihii minal khothooyaa kamaa yunaqqots tsawbul abyadhu minad danasi wa abdilhu daaroon khoiroon min daarihii, wa ahlan khoiron min ahlihii waqihii fitnatal qobri wa ‘adzaabannaar.
“Ya Alloh ampunilah ia, kasihanilah ia, sejahterakanlah ia,
dan maafkanlah kesalahannya, hormatilah kedatangannya, dan luaskan tempat
diamnya, bersihkanlah ia dengan air, es dan embun, bersihkanlah ia dari dosa,
sebagaimana kain putih dibersihkan dari kotoran, gantilah rumahnya dengan rumah
yang lebih baik daripada rumahnya dahulu, dan gantilah ahli keluarganya dengan
yang lebih baik daripada ahli keluarganya dahulu, dan peliharalah ia dari
huru-hara kubur dan siksaan api neraka.” (HR. Muslim)
Cibinong, 8 November 2013